Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:
Kaidah Kedua:
Sesungguhnya mereka [orang musyrik dahulu] beralasan, “Tidaklah kami berdoa dan menujukan hati kepada mereka [sesembahan selain Allah] melainkan sekedar untuk mencari kedekatan diri [di sisi Allah] dan syafa’at.”
Dalil yang menunjukkan keinginan mereka menggapai kedekatan diri adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong itu mengatakan: ‘Tidaklah kami beribadah kepada mereka melainkan supaya mereka bisa lebih mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah pasti akan memutuskan hukum diantara mereka dalam hal apa-apa yang mereka perselisihkan itu. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada pendusta dan orang yang suka berbuat ingkar/kafir.” (QS. Az-Zumar: 3)
Dalil yang menceritakan bahwa mereka mencari syafa’at adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Mereka beribadah kepada selain Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan bahaya maupun manfaat untuk mereka. Kemudian mereka mengatakan bahwa mereka itu adalah para pemberi syafa’at untuk kami di sisi Allah.” (QS. Yunus: 18)
[lihat Mu’allafat asy-Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdil Wahhab, hal. 200]
Penjelasan Global
Di dalam kaidah yang kedua ini, Syaikh rahimahullah mencoba memaparkan realita yang ada di tengah-tengah musyrikin masa silam. Bahwa sesungguhnya mereka memiliki keinginan baik di balik perbuatan syirik mereka, yaitu untuk mendapatkan kedekatan diri dan syafa’at di sisi Allah. Akan tetapi sayang, niat yang baik itu tidak berarti sedikit pun disebabkan cara yang mereka tempuh keliru!!
Untuk menunjukkan hal itu beliau membawakan dua buah dalil dari al-Qur’an yang membuktikan bahwa mereka bertujuan untuk mencari kedekatan diri di sisi Allah dan pemberi syafa’at (rekomendasi) di sisi-Nya untuk meraih keinginan-keinginan mereka. Ayat yang pertama ada dalam surat Az-Zumar, sedangkan ayat kedua dari surat Yunus.
Faidah Berharga
Hal ini juga menunjukkan kepada kita bagaimana seorang ulama seperti beliau berusaha menjelaskan masalah ini dengan senantiasa berlandaskan kepada dalil, bukan berdasar logika atau perasaan. Demikianlah seharusnya seorang da’i. Dia berusaha membangun dakwahnya di atas dalil al-Kitab maupun as-Sunnah. Dia mengajak umat manusia untuk tunduk kepada dalil, bukan untuk menjadi pengekor pendapat pribadinya semata (berasal dari faidah yang disampaikan Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah dalam ceramah beliau tentang Syarah al-Qawa’id al-Arba’)
Patung Hanya Simbol Perantara
Orang-orang musyrik masa silam tidaklah berkeyakinan bahwa patung-patung yang mereka sembah adalah yang menciptakan diri mereka atau pencipta langit dan bumi. Mereka juga tidak berkeyakinan bahwa patung-patung itu yang menurunkan hujan dari langit. Lalu mengapa mereka menyembah patung-patung itu? Maka mereka menjawab, “Agar mereka bisa mendekatkan diri kami kepada Allah dan menjadi pemberi syafa’at untuk kami di sisi Allah.” Demikian sebagaimana diterangkan oleh Qatadah rahimahullah (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an oleh Imam al-Qurthubi [18/247])
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa orang-orang musyrik kala itu membuat patung-patung mereka sebagai simbol dari malaikat yang mereka harapkan bisa memberikan syafa’at untuk mereka di sisi Allah demi memenuhi keinginan mereka semacam agar bisa mendapatkan kemenangan, melancarkan rizkinya, atau untuk mencapai berbagai keinginan dunia selainnya. Adapun mengenai hari pembalasan (kiamat) maka mereka adalah orang-orang yang tidak mempercayainya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [7/61-62] cet. Al-Maktabah At-Taufiqiyah)
Kedustaan dan Kekafiran Mereka
Setelah menceritakan alasan orang-orang musyrik beribadah kepada selain Allah maka di akhir ayat Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada pendusta dan orang yang suka berbuat ingkar/kafir.” (QS. Az-Zumar: 3)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa apa yang diucapkan oleh mereka adalah kedustaan dan kekafiran. Menjadikan patung atau sesembahan selain Allah sebagai perantara dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah atau meraih syafa’at di sisi-Nya adalah kekafiran!
Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah menjelaskan, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla adalah kafir walaupun dia bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan beribadah kepada makhluk.” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’ kaset ke-2, hal. 21)
Membatalkan Keislaman
Oleh sebab itu, apabila ada diantara kaum muslimin orang-orang yang menjadikan antara dirinya dengan Allah perantara-perantara dalam beribadah sehingga dia berdoa kepadanya, meminta syafa’at kepadanya, atau bertawakal kepadanya, maka ini semuanya adalah termasuk kekafiran yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama! Ini adalah pembatal keislaman, sebagaimana telah diterangkan oleh para ulama (sebagai tambahan silahkan membaca keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya [7/62])
Meskipun mereka juga meyakini Allah satu-satunya pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang mendatangkan manfaat dan menolak madharat, yang menghidupkan dan mematikan. Itu semuanya tidaklah merubah hakikat perbuatan mereka. Mereka telah berbuat syirik yang menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Sebab, tidak ada yang membedakan perbuatan mereka dengan perbuatan orang musyrik jaman dahulu kecuali sekedar istilah yang direkayasa (lihat penjelasan Syaikh Dr. Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam asy-Syarh al-Mukhtashar ‘ala Kitab Nawaqidh al-Islam, hal. 24)